Archive

24 Desember 2021

FGD 3: Rantai Pasok Sawit dan Penetapan Harga TBS

25 Desember 2021

FGD 4: Sawit dalam Rantai Industri Pangan Global

26 Desember 2021

FGD 5: Biodiesel Berbasis Sawit di Indonesia, Prospek dan Tantangan

27 Desember 2021

FGD 6: Kesetimbangan (Permintaan Vs Penawaran) Industri Sawit Tanpa Ekspansi Kebun

28 Desember 2021

FGD 7: Kebijakan dan Kelembagaan Tatakelola (Industrialisasi) Sawit

29 Desember 2021

FGD 8: Industrialisasi Berbasis Sawit Rakyat

30 Desember 2021

FGD 9: Peta Jalan Industrialisasi Sawit Nasional

FGD 1: Luas Sawit Indonesia

Industri sawit Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (2019), tercatat total luas Izin Usaha Perkebunan (IUP) Sawit yang sudah terbit mencapai 20,01 juta hektare. Harus diakui, sejak desentralisasi, kewenangan penerbitan izin oleh kepala daerah, ikut berkontribusi besar dalam peningkatan jumlah IUP Sawit (CIFOR, 2019).

Sebagian IUP Sawit tersebut sudah ditanami sawit. Hal tersebut bisa dilihat dari data yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian (Keputusan Menteri Pertanian nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019), pada 2019, luas lahan yang sudah ditanami sawit mencapai 16,38 juta hektare. Data ini merupakan hasil rekonsiliasi data spasial tutupan sawit oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Informasi Geospasial (BIG) dan data sawit dalam kawasan yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Rekonsiliasi sawit merupakan upaya pemerintah dalam mengkonsolidasi data dari beberapa sumber yang berbeda untuk menghasilkan peta tutupan sawit nasional yang kemudian bisa menjadi rujukan bersama, sehingga mempermudah dalam proses pengambilan kebijakan.

Tapi data resmi dari Kementerian Pertanian ini, yang diharapkan menjadi rujukan utama data sawit Indonesia, dibantah oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara resmi, BPS pada 2021, mengeluarkan data statistik perkebunan sawit, seluas 14,6 juta hektare. Selisih kedua data tersebut mencapai 1,8 juta hektare. Meski berbeda metode perhitungan, tapi adanya perbedaan data versi pemerintah ini menambah sengkarut data sawit di Indonesia.

Sengkarut data ini memang menimbulkan polemik. Selain versi pemerintah, beberapa institusi non pemerintah dan peneliti juga mengeluarkan data sawit Indonesia. Data-data tersebut bisa diakses lewat platform webgis maupun jurnal-jurnal ilmiah. Kredibilitas data tersebut juga diakui karena menggunakan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.

Banyaknya versi data angka luasan perkebunan sawit menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap tata kelola sawit Indonesia. Positifnya adalah keberadaan data dengan berbagai metode perhitungan memberikan manfaat terhadap perbaikan data. Pemerintah bisa mengevaluasi dan memilih metodologi dan penggunaan teknologi yang paling relevan untuk mendapatkan data luasan perkebunan sawit dengan validitas data yang lebih tinggi. Negatifnya adalah kalau perbedaan data tersebut terus dibiarkan maka pemerintah akan sulit menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program perbaikan tata kelola sawit di Indonesia. Karena data merupakan aspek krusial dalam menuju perbaikan tersebut.

Melihat fakta tersebut, Auriga merasa perlu menjadikan isu ini dalam salah satu sub tema Diskusi Kelompok Terarah (FGD) 1: Industrialisasi Sawit Nasional dengan judul “Menyelesaikan Kontroversi Perbedaan Data Luas Perkebunan Sawit di Indonesia”. Diskusi ini nantinya diharapkan dapat mengubah pandangan bahwa perbedaan data luas perkebunan sawit bukan menjadi hal yang harus dipermasalahkan, melainkan menjadi referensi dan bahan diskursus yang dapat digunakan sebagai upaya perbaikan data kedepannya.

Pemateri

534 Views

1 Comments

Questions & Answers

Materi

Comment

Ramada Febrian:

Data dasar yang berbeda-beda akan menghambat proses pemajuan industri sawit

2 years ago
Reply