Sawit Indonesia juga berkontribusi pada perekonomian nasional. Pada 2020, sektor sawit menyumbang devisa nasional sebesar US$ 18,4 miliar, lebih dari dua kalinya devisa sektor migas yang hanya US$ 8,3 miliar di tahun yang sama (BPS, 2021). Sawit juga merupakan sektor padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2020, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor sawit mencapai 4,43 juta orang.
Namun disisi lain, lahan kebun sawit pun terus bertambah masif. Berdasarkan data Kementerian Pertanian 2019, luas tutupan sawit saat ini adalah 16,38 juta hektar. Tidak semua lahan sawit tersebut legal dan sangat sedikit yang sudah memenuhi sertifikasi sawit berkelanjutan (sustainable palm oil). Misalnya, masih ada sekitar 3,28 juta hektare tutupan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Selain illegal, kebun sawit juga ada yang dikelola dengan izin yang lengkap, seperti izin lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), dan Hak Guna Usaha. Selain itu, untuk kebun sawit swadaya, hanya sebagian kecil kebun sawit yang dikelola memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) Sawit dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Dengan situasi legalitas lahan tersebut di atas, berdampak pada sedikitnya lahan yang tersertifikasi sawit berkelanjutan, seperti ISPO dan RSPO. Padahal standar keberlanjutan tersebut sangat penting untuk penguatan pasar, terutama pasar ekspor. Pada aspek lain, standar keberlanjutan tersebut juga dapat meminimalkan persoalan negatif yang seringkali muncul karena legalitas lahan yang tidak jelas.
Upaya perbaikan tata kelola sawit harus menempatkan penyelesaian persoalan legalitas dan keberlanjutan. Tanpa itu, upaya perbaikan yang dilakukan hanya ‘pemanis’ saja, tak menyelesaikan inti persoalan tata kelola sawit di Indonesia. Meski demikian, upaya itu tidak mudah, begitu banyak tantangan yang akan dihadapi. Begitu besar permasalahan dan begitu rumit cara penyelesaiannya, karena sudah lama ‘dibiarkan’ oleh pemerintah. Menghadapi tantangan tersebut, Auriga Nusantara mencoba mengurai persoalan ini dan mencari jalan keluar terbaik untuk penyelesaiannya. Upaya itu dilakukan dengan mengadakan Diskusi Kelompok Terarah (FGD): Polemik Legalitas dan Keberlanjutan Kebun Sawit di Indonesia. Diharapkan forum diskusi ini dapat membantu memetakan berbagai persoalan dan mencari cara yang tepat untuk menyelesaikannya.